Langsung ke konten utama
Wisuda ? = Pengangguran ? Mau Ngapain ?
Setelah lulus dan wisuda kalian para mantan mantan mahasiswa mo ba apa coba ?

Pertanyaan itu langsung tertuju pada kalian begitu selesai wisuda.
Ingatlah perjuangan hidup sebenarnya akan kalian rasakan pasca kuliah.
setelah jadi sarjana, lalu bagaimana?Banyak kawan-kawan saya yang baru saja di wisuda, saat ini sedang sibuk mencari pekerjaan. Mereka mendatangi satu job fair ke job fair yang lainnya, ingin segera bekerja agar gelar sarjananya tidak sia-sia, atau mungkin agar tidak menjadi 'trending topic' di lingkungan rumah karena sudah jadi sarjana namun belum bekerja.
Namun tidak semua sarjana langsung bergegas mencari kerja, ada yang sedang sibuk mencari beasiswa S-2, ada juga yang memilih untuk beristirahat sejenak di rumah setelah kurang lebih empat tahun memperjuangkan gelar sarjana (kalau yang ini biasanya perempuan), bahkan ada juga yang melakukan perjalanan ke tempat wisata yang sudah diimpikan sejak masih berkutat dengan perkuliahan.
Fenomena ini terus terjadi setiap tahun, banyak perguruan tinggi yang mampu melepas ribuan wisuda sebagai sarjana namun tidak mampu menjamin lulusannya untuk bisa segera bekerja, sehingga tiap tahun jumlah pengangguran terdidik terus meningkat. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), pengangguran terdidik mencapai 857 ribu orang, belum lagi ditambah dengan mereka yang tahun ini menjadi sarjana namun masih sibuk mencari lowongan pekerjaan.
Sarjana tapi Pengangguran, salah siapa?Jadi pengangguran adalah mimpi buruk bagi semua orang. Selain tidak produktif, juga menjadi objek bullying tetangga, kerabat, dan saudara. Tidak ada seorang pun sarjana yang mau jadi pengangguran, meski pada kenyataanya ada ratus ribuan sarjana yang menganggur, belum lagi yang tidak terdata oleh BPS. Salah siapa sih?
Kita tidak bisa terus menerus mengkambinghitamkan perguruan tinggi karena mereka hanyalah lembaga pendidikan yang memfasilitasi mahasiswa untuk meraih gelar sarjana, bukan lembaga pemberi pekerjaan. Meskipun memang sistem yang diterapkan beberapa perguruan tinggi ada yang tergolong asal-asalan, asal mahasiswa lulus dan punya gelar, sehingga kualitas lulusan patut dipertanyakan.
Tapi seburuk-buruknya sebuah perguruan tinggi, setidaknya mereka punya satu orang alumni yang sudah merasakan arti sebuah kesuksesan. Sebuah perguruan tinggi tentunya diisi oleh berbagai mahasiswa yang memiliki kepribadian yang berbeda-beda, sehingga kepribadian seorang sarjana yang satu dengan yang lainnya pun berbeda. Memperluas pergaulan diwaktu senggang ketika masih menjadi mahasiswa bisa menghindarkan seorang sarjana untuk lama menganggur pasca di wisuda.
Keluarga juga mempunyai peran yang tidak kalah penting atas banyaknya sarjana nganggur di Indonesia, banyak orangtua yang membiayai kuliah anak mereka tanpa mengetahui potensi anaknya, tanpa memahami jurusan yang anaknya ambil, tanpa memandang kualitas perguruan tinggi tempat anaknya berkuliah, memberikan anak berbagai fasilitas mewah selama kuliah sehingga menjadi manja dan tidak punya mental untuk bersaing setelah menjadi sarjana dan hal-hal lain yang mengakibatkan banyaknya sarjana tanpa pekerjaan.
ALAM prosesi wisuda sering dinyanyikan bermacam-macam lagu, dari “Indonesia Raya”, mars dan himne universitas, lagu nasional, hingga pop kontemporer sebagai suplemen. Mahasiswa pun terhanyut karena bangga dapat menyelesaikan pendidikan di perguruan tinggi (PT) di tengah kemerebakan komersialisasi pendidikan. Muncul pula keangkuhan karena menganggap dengan gelar S1 bakal gampang meraih segalanya. Mereka beranggapan, ijazah adalah ikon penghasil kehidupan. Muncul angan-angan di hati seluruh sivitas akademika. Pihak kampus pun terlena dengan pesta besar dunia kampus. Lebih ironis, andai jajaran rektorat berpikir ikut-ikutan dalam labirin “akad” S1. Padahal, saya membayangkan saat wisuda, paduan suara mahasiswa sebaiknya menyanyikan lagu “Sarjana Muda” karya Iwan Fals. Itu penting. Mengapa? Tujuannya, agar mahasiswa merenung sejenak: selanjutnya hendak berlayar ke mana? Jajaran dan segenap sivitas akademika pun semsetinya bersikap realistis; tak terlena dalam euforia mahasiswa yang hendak diwisuda. Sarjana yang diceritakan Iwan Fals dalam lagu “Sarjana Muda” merupakan renungan mendalam dan bermakna. Namun agaknya lagu hit yang dirilis tahun 1981 dalam album Sarjana Muda itu tergolong najis mughalladzah dinyanyikan saat wisuda karena liriknya berisi paradoks dan ironi. Lumrahnya, sarjana yang pintar (diukur dengan IPK tinggi, lulus cepat atau tepat waktu) cepat pula terserap di dunia kerja. Namun “Sarjana Muda” menggambarkan betapa sarjana pintar justru sulit memperoleh pekerjaan. Padahal, dia sudah berjalan gontai tak tentu arah, sambil menatap awan berarak dengan wajah murung. Jaket pun lusuh bercampur keringat dan debu jalanan. Sang sarjana putus asa dan berkata, “Maaf, Ibu.” Sebab, dia merasa gagal membahagiakan sang ibu yang menyekolahkan bertahun-tahun (Iwan Fals, 1981). Lirik itu jelas berbanding arah dengan suasana dalam prosesi wisuda. Rektor dengan percaya diri maju ke podium, memberikan sambutan, pengarahan, lantas memimpin pengucapan ikrar alumni untuk selalu menjaga nama baik almamater. Semua dikondisikan serbasempurna, seolah-olah setelah wisuda, para winisuda bisa langsung berkiprah di dunia praksis yang (konon) merupakan pengabdian pada bangsa dan negara. Faktanya tidak demikian. Seusai diwisuda, mayoritas sarjana menambah angka penganggur terdidik dengan grafik berfluktuasi setiap tahun. Berdasar data Direktorat Pendidikan Tinggi 22 Maret 2010, sarjana (SI) yang menganggur Februari 2007 sebanyak 409.900 orang. Tahun 2008 bertambah jadi 626.200 orang. Jika setiap tahun kenaikan rata-rata 216.300, Februari 2012 ada lebih dari sejuta penganggur terdidik. Itu belum ditambah lulusan diploma yang menganggur. Dalam rentang waktu 2007-2010 saja tercatat peningkatan 519.900 orang atau naik sekitar 57%. Pragmatis Itu semua erat berkait dengan kampus. Tentu perguruan tinggi menginginkan lulusan berkualitas, tak latah pada sisi jumlah. Namun, selain ketidaktahuan tentang sistem pendidikan selama ini asimetris dengan paradigma dunia kerja, kampus juga setengah hati memfasilitasi alumnus. Setelah mengobral, memperoleh untung, berkuranglah tanggung jawab PT. Beberapa kampus memang membentuk study advisory centre (SAC), semacam badan yang mengurusi dunia kerja dan membuka jaringan antara perusahaan, kampus, dan alumnus. Namun kebanyakan fasilitas itu sekadar formalitas. Kondisi itu membuat kampus berkesan “lepas tangan” atas nasib alumnus. F Budi Hardiman dalam buku Memahami Negativitas (2005), mengutip sastrawan Bulgaria pemenang Nobel tahun 1981, Elias Canetti, mengajukan deskripsi untuk memahami makna ketakbermaknaan feses (kotoran manusia). Kita tak ingin melihat benda yang pernah jadi bagian dari diri kita itu. Relasi antara sarjana yang tak beruntung dan PT layaknya manusia dan feses. Pada awal penerimaan mahasiswa baru, banyak PT bersemangat mempromosikan diri agar diminati calon mahasiswa. Jika jalur penerimaan resmi (SNMPTN, PMDK) ditutup, mereka pun berinovasi untuk merekrut mahasiswa baru, dari seleksi lokal tahap I, II, III, atau bahkan IV. PT bernafsu menerima sebanyak mungkin mahasiswa. Kemunculan berbagai cara yang mengarah ke pelanggaran etika akademik untuk memenangi persaingan itu menunjukkan, pendidikan kini cenderung jadi ajang bisnis. Akibat terlalu gampang menerapkan sistem input, proses “metabolisme” di PT berjalan tak sempurna. Dan, akhirnya banyak yang terbuang. Karena itu, ucapan Iwan Fals, “Engkau sarjana muda, lelah mencari kerja/Sia-sia ijazahmu/Empat tahun lamanya bergelut dengan bukuĂ–”, tak ubahnya kotoran dari industri pendidikan yang tak hendak lagi dilihat oleh PT yang meluluskan karena dianggap tak berguna. Padahal “sekotor” apa pun, sarjana tak beruntung itu pernah jadi bagian dalam proses “metabolisme” di perut industri pendidikan tinggi.
Bagaimana, kelak, nasib sarjana? Semoga menjadi kisah inspiratif bagi lulusan baru seperti saya dan mungkin rekan sejawat yang masih mengadu nasib di dunia kerja..... Semangat berjuang amien..
Komentar
Posting Komentar